Pendiri aliran Baha’i ini adalah Mirza Ali Muhammad al-Syairazi
lahir di Iran 1252H/1820M. Ia mengumumkan, tidak percaya pada hari qiyamat,
surga dan neraka setelah hisab/perhitungan. Dia menyerukan bahwa dirinya adalah
potret dari nabi-nabi terdahulu. Tuhan pun menyatu dalam dirinya. Risalah
Muhammad bukan risalah terakhir. Huruf-huruf dan angka-angka mempunyai
tuah terutama angka 19. Perempuan mendapat hak yang sama dalam menerima harta
waris. Ini berarti dia mengingkari hukum Al-Quran, padahal mengingkari Al-Quran
berarti kufur, tandas Abu Zahrah ulama Mesir dalam bukunya Tarikh
Al-Madzaahibil Islamiyyah fis Siyaasah wal ‘Aqoid .
Kaum Baha’i ini menganut kitab suci Akhdas dan salatnya
mengarah pada Kiblat Gunung Karmel atau Karamel di Israel. Mereka juga
melakukan puasa selama 19 hari sebelum merayakan Hari
Raya Naurus yang jatuh setiap 21 Maret. Mereka
juga tidak menerima syariat zakat, yang menurut penilaian mereka sebagai
perbuatan boros. Karenanya, dalam setiap acara kegiatan sosial, kendurian
misalnya, mereka memilih mengundang sedikit orang, dengan alasan tidak
melakukan pemborosan. Selain itu, mereka para pengikut ajaran ini menerbitkan
surat nikah sendiri untuk acara pernikahan para pengikutnya. Tidak cukup sampai
disitu, mereka juga meminta Pemerintah dalam menuliskan agama mereka di KTP
dengan tulisan “agama Baha’i”. mereka tidak mau bila ditulisakan agama Islam,
bahkan mereka lebih memilih kolom agama itu dikosongkan saja apabila tidak
ditulis dengan “agama Baha’i. Karena dinilai meresahkan warga lain dan ini termasuk
sesat, maka warga meminta pemerintah untuk membubarkan kelompok tersebut.
Kasus :
Sebenarnya kasus tentang aliran Baha’i ini sudah lama terjadi
di Desa tersebut, yaitu sekitar tahun 2009. Namun belakangan ada masalah baru
yang muncul terkait dengan aliran Baha’i ini. Yaitu sekitar bulan Mei 2015
kemarin salah satu Tokoh aliran Baha’i ini sebut saja “L” meninggal dunia.
Pihak keluarga meminta jenasah “L” dimakamkan di pemakaman umum Desa setempat,
namun mereka meminta letaknya membujur ke arah Barat Daya, tentunya ini ditolak
oleh warga dan para Perangkat Desa. Karena ini akan memakan tempat lebih banyak
dan juga tidak sama dengan yang lain pastinya. Pihak desa melarang hal tersebut,
dan apabila pihak keluarga tidak terima maka dipersilahkan untuk tidak
memakamkan di TPU tersebut.
Analisa Kasus :
Dilihat dari pendapat Emile Durkheim tentang solidaritas
masyarakat, maka kasus ini bisa dimasukkan pada Solidaritas Mekanis, karena
kasus ini dijumpai di lingkungan Desa yang masyarakatnya sendiri masih kental
dengan kebersamaan dan gotong-royong yang biasanya disebut dengan Paguyuban.
Meskipun dalam hal ini masyarakat kompak dalam hal menolak aliran yang dianggap
menyesatkan. Dari pihak keluarga pun tidak mengundang masyarakat untuk kenduri
ataupun mendo’akan orang yang sudah meninggal seperti pada agama Islam pada
umumnya. Namun bila biasanya dalam solidaritas mekanis dijumpai kaidah hukum
represif yaitu yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang
melanggar kaidah-kaidah hukum yang bersangkutan, maka ini tidak. Menurut saya
kaidah hukum yang tepat pada kejadian ini adalah restitusif, yaitu tidak perlu
semata-mata untuk mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya.
Tujuan utama kaidah ini adalah untuk mengembalikan kaidah pada situasi semula
tanpa adanya sanksi tegas sama sekali.
Tugas yang harus Anda kerjakan adalah menganalisis kasus pelanggaran hukum di masyarakat, sedangkan yang Anda tulis di atas adalah kasus perselisihan pendapat tentang pemakaman karena beda keyakinan. Dalam kasus tersebut, Anda tidak menyebutkan pelanggaran hukum apa yang terjadi, bagaimana reaksi masyarakat, apakah reaksi tersebut mencerminkan solidaritas mekanis atau organis, apa alasannya, bagaimana hubungannya dengan karakter masyarakat setempat? apakah sesuai pendapat Emile D? Silakan diperbaiki
BalasHapus