Selasa, 15 September 2015

Kasus tentang Solidaritas Masyarakat menurut Emile Durkheim

Di sebuah Desa P terkenal muncul adanya  aliran agama baru yang dinamai  Baha’i. Agama tersebut tentunya bukanlah agama yang diakui di Negara kita. Namun sebenarnya keberadaan agama Baha’i di Indonesia bukanlah hal baru. Setidaknya, jauh sebelum kemerdekaan, Baha’i ini sudah dibawa masuk ke kawasan Nusantara, yaitu sejak sekitar tahun 1878, dibawa oleh dua orang pedagang dari Persia dan Turki, yaitu Jamal Effendi dan Mustafa Rumi.
Pendiri aliran Baha’i ini adalah Mirza Ali Muhammad al-Syairazi lahir di Iran 1252H/1820M. Ia mengumumkan, tidak percaya pada hari qiyamat, surga dan neraka setelah hisab/perhitungan. Dia menyerukan bahwa dirinya adalah potret dari nabi-nabi terdahulu. Tuhan pun menyatu dalam dirinya. Risalah Muhammad bukan risalah terakhir. Huruf-huruf dan angka-angka mempunyai tuah terutama angka 19. Perempuan mendapat hak yang sama dalam menerima harta waris. Ini berarti dia mengingkari hukum Al-Quran, padahal mengingkari Al-Quran berarti kufur, tandas Abu Zahrah ulama Mesir dalam bukunya Tarikh Al-Madzaahibil Islamiyyah fis Siyaasah wal ‘Aqoid .
Kaum Baha’i ini menganut kitab suci Akhdas dan salatnya mengarah pada Kiblat Gunung Karmel atau Karamel di Israel. Mereka juga melakukan puasa selama 19 hari sebelum merayakan Hari Raya Naurus yang jatuh setiap 21 Maret. Mereka juga tidak menerima syariat zakat, yang menurut penilaian mereka sebagai perbuatan boros. Karenanya, dalam setiap acara kegiatan sosial, kendurian misalnya, mereka memilih mengundang sedikit orang, dengan alasan tidak melakukan pemborosan. Selain itu, mereka para pengikut ajaran ini menerbitkan surat nikah sendiri untuk acara pernikahan para pengikutnya. Tidak cukup sampai disitu, mereka juga meminta Pemerintah dalam menuliskan agama mereka di KTP dengan tulisan “agama Baha’i”. mereka tidak mau bila ditulisakan agama Islam, bahkan mereka lebih memilih kolom agama itu dikosongkan saja apabila tidak ditulis dengan “agama Baha’i. Karena dinilai meresahkan warga lain dan ini termasuk sesat, maka warga meminta pemerintah untuk membubarkan kelompok tersebut.

Kasus :
Sebenarnya kasus tentang aliran Baha’i ini sudah lama terjadi di Desa tersebut, yaitu sekitar tahun 2009. Namun belakangan ada masalah baru yang muncul terkait dengan aliran Baha’i ini. Yaitu sekitar bulan Mei 2015 kemarin salah satu Tokoh aliran Baha’i ini sebut saja “L” meninggal dunia. Pihak keluarga meminta jenasah “L” dimakamkan di pemakaman umum Desa setempat, namun mereka meminta letaknya membujur ke arah Barat Daya, tentunya ini ditolak oleh warga dan para Perangkat Desa. Karena ini akan memakan tempat lebih banyak dan juga tidak sama dengan yang lain pastinya. Pihak desa melarang hal tersebut, dan apabila pihak keluarga tidak terima maka dipersilahkan untuk tidak memakamkan di TPU tersebut.

Analisa Kasus :
Dilihat dari pendapat Emile Durkheim tentang solidaritas masyarakat, maka kasus ini bisa dimasukkan pada Solidaritas Mekanis, karena kasus ini dijumpai di lingkungan Desa yang masyarakatnya sendiri masih kental dengan kebersamaan dan gotong-royong yang biasanya disebut dengan Paguyuban. Meskipun dalam hal ini masyarakat kompak dalam hal menolak aliran yang dianggap menyesatkan. Dari pihak keluarga pun tidak mengundang masyarakat untuk kenduri ataupun mendo’akan orang yang sudah meninggal seperti pada agama Islam pada umumnya. Namun bila biasanya dalam solidaritas mekanis dijumpai kaidah hukum represif yaitu yang sanksi-sanksinya mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggar kaidah-kaidah hukum yang bersangkutan, maka ini tidak. Menurut saya kaidah hukum yang tepat pada kejadian ini adalah restitusif, yaitu tidak perlu semata-mata untuk mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya. Tujuan utama kaidah ini adalah untuk mengembalikan kaidah pada situasi semula tanpa adanya sanksi tegas sama sekali.
Continue Reading...

Followers

Grab A Button

Follow The Author