Rabu, 18 Mei 2016

ARTIKEL TENTANG KREDIT MACET


Kredit menurut UU no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersama-kan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Bank sebagai lembaga keuangan, disamping memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi bank dengan harapan mendapat pinjaman modal untuk membangun usaha atau bisnis, ataupun meningkatkan usaha yang sudah ada.
Setelah kredit yang merajalela di masyarakat khususnya di lingkungan pengusaha menengah ke atas, banyak bank yang menyimpang dari aturan dalam pemberian kredit karena persaingan yang ketat dalam penarikan nasabah. Selain itu banyak kelalaian yang dilakukan bank dalam menganalisis pemberian kredit, dan pemberian jumlah pinjaman yang tidak sesuai dengan kemampuan nasabah bank, sehingga terjadilah kredit macet pada nasabah.
Di bawah ini merupakan salah satu contoh kasus tentang kredit macet yang terjadi di masyarakat.

Kredit Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat
Selasa, 18 Mei 2010, KOMPAS

           Jambi, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi dinilai bagaikan “Macan Ompong,” dalam menangani kasus Kredit macet BRI Jambi, atas dana yang digunakan PT. RPL / UD (Raden Motor) yang jatuh tempo sejak 14 April 2008. Hingga berita ini diturunkan, belum juga berhasil menyeret siapa tersangkanya, hingga ke meja hijau (Pengadilan).
Awal mulanya UD Raden Motor mengajukan permohonan pinjaman ke BRI Jambi dengan mengagunkan 36 item surat berharga yang nilai likuiditasnya mencapai Rp100 miliar sebagai jaminan, melakukan pinjaman sebesar Rp52 miliar dalam beberapa tahun. Pengajuan pinjaman yang diajukan UD Raden Motor tersebut ditujukan untuk pengembangan usaha di bidang otomotif seperti showroom jual beli mobil bekas dan perbengkelan mobil atau otomotif.
Namun, Penggunaan kredit tersebut oleh PT. RPL tidak sesuai dengan peruntukan, sebagaimana pengajuan pinjamannya kepada BRI. Dari itu dinilai ada penyimpangan, dan hingga jatuh tempo pada 14 April 2008. Dana pinjaman kredit sekitar Rp 52 miliar itu tidak bisa dikembalikan oleh pihak PT. RPL/ UD Raden Motor.
Berkaitan dengan hal itu, UD Raden Motor masih diberi jangka waktu selama satu tahun, untuk menjual asetnya, guna melunasi hutang dengan BRI. Tetapi tidak dilakukan oleh Raden Motor. Akhirnya Kejaksaan sempat mencium adanya pelanggaran tindak pidana korupsi dalam kasus pemberian kredit itu, dan adanya indikasi pengalihan aset-aset milik PT. RPL/UD kepada orang lain, sehingga agunan atau jaminan yang ada di bank sudah dianggap tidak sah lagi.
Akhirnya Kejati Jambi minta keterangan beberapa pihak termasuk ZM (Zein Muhamad ) dan beberapa orang dari BRI Jambi, penyidik menemukan bahwa ada kredit yang cair dipergunakan untuk kepentingan lain, seperti bidang usaha properti. Sebagaimana dikatakan Asisten Tindak pidana khusus (Aspidsus) Kejati Jambi, Andi Herman, pada waktu itu Rabu (14/4- 2010) mengatakan, pihaknya telah menaikkan status kasus dugaan kredit macet senilai Rp52 miliar di BRI Cabang Jambi yang diberikan kepada PT Raden Motor, ke tahap penyidikan.
Dikatakan, adanya dugaan kesalahan prosedur dalam pemberikan kredit sehingga ditemukan kerugian negara senilai Rp52 miliar. Kemudian dalam prosedur dan tahapannya pengajuan permohonan kredit itu peruntukannya juga disalah gunakan oleh penerima kredit Raden Motor, sehingga dalam kasus ini ada dugaan kuat telah terjadi konspirasi atau kerja sama antara BRI Cabang Jambi dengan Raden Motor. Pihak intelejen Kejati Jambi menetapkan pelanggaran terhadap kasus ini sesuai dengan UU No.31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No.20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.
Berkaitan dengan hal itu,Kamis (6 Mei 2010), pemeriksaan pertama kalinya untuk tersangka Effendi Syam (ES), pegawai BRI Jambi tidak bisa dilakukan karena alasan sakit, dan pemeriksaan dilanjutkan pada mendatang dengan agenda pemeriksaaan sebagai tersangka," tegas Soleh. Secara resmi memang ada surat pernyataan sakit dari dokter atas nama Effendi Syam yang diantarkan langsung oleh kuasa hukumnya kepada tim penyidik kejaksaaan tinggi Jambi.
Sedangkan untuk pemeriksaan terhadap tersangka lainnya yakni Zein Muhammad (ZM) Pimpinan Perusahaan Raden Motor, sebagai penerima dan pengguna kucuran kredit dari BRI Cabang Jambi, belum bisa dipastikan kehadirannya. Kedua orang itu telah ditetapkan menjadi tersangka, terkait kasus tindak pidana korupsi, berdasarkan bukti-bukti permulaan yang didapati kejaksaan dalam penyidikan.
Kepala bagian pemberian kredit BRI Cabang Jambi, Robyansyah pada saat itu menerima LSM Forbes Jambi mengatakan, kasus kredit macet tersebut telah diusut oleh pihak Kejati Jambi dan kini proses hukumnya masih berjalan. Menurutnya, pejabat pemberian kredit BRI Cabang Jambi saat itu ES, yang saat sudah bertugas di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan, sudah diperiksa penyidik Kejati Jambi.
Penyidik intelijen Kejati Jambi terakhir memeriksa saksi ahli adalah Direktur Utama PT RPL Zien Muhammad, mantan account officer (AO) BRI cabang Jambi Effendi Siam, dan akuntan publik Biasa Sitepu yang saat ini tidak ditahan. Untuk mengetahui prosedur dan kesalahan dalam masalah pemberian kredit dari BRI ke Raden Motor. Menurut keterangan yang dihimpun Wartawan Forum Jambi "Saksi RD tidak mengetahui langsung masalah pencairan kredit tersebut namun ES diperiksa memang mengetahui pasti masalah kredit tersebut karena masih menjabat waktu pemberian kredit untuk Raden Motor. Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat oleh akuntan publik, sehingga terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya. Keterangan dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan dikonfrontir dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik di Kejati Jambi. Semestinya data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor , tidak dibuat oleh akuntan publik.
Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan pemeriksaan dan mengungkap kasus tersebut dengan adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya. Dalam kasus diatas, akuntan publik diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi dalam kredit macet untuk pengembangan usaha Perusahaan Raden Motor.
Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan akuntan publik yang di anggap lalai dalam pembuatan laporan keuangan perusahaan, Ia tidak membuat empat kegiatan data laporan keuangan milik Raden Motor yang seharusnya ada dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI sebagai pihak pemberi pinjaman sehingga menimbulkan dugaan korupsi. Fitri Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus itu. Selasa (18/5/2010) mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini.
Hasil pemeriksaan dan konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan pinjaman ke BRI. Dalam kasus ini, seorang akuntan publik (Biasa Sitepu) dituduh melanggar prinsip kode etik yang ditetapkan oleh KAP (Kantor Akuntan Publik). Biasa Sitepu telah melanggar beberapa prinsip kode etik diantaranya yaitu : Pertama, Prinsip tanggung jawab : Dalam melaksanakan tugasnya dia (Biasa Sitepu) tidak mempertimbangkan moral dan profesionalismenya sebagai seorang akuntan sehingga dapat menimbulkan berbagai kecurangan dan membuat ketidakpercayaan terhadap masyarakat.
Kedua, Prinsip integritas : Awalnya dia tidak mengakui kecurangan yang dia lakukan hingga akhirnya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi. Ketiga, Prinsip obyektivitas : Dia telah bersikap tidak jujur, mudah dipengaruhi oleh pihak lain. Keempat, Prinsip perilaku profesional : Dia tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan publik telah melanggar etika profesi. Kelima, Prinsip standar teknis : Dia tidak mengikuti undang-undang yang berlaku sehingga tidak menunjukkan sikap profesionalnya sesuai standar teknis dan standar profesional yang relevan.
Kepala KPKLN (Kantor Pelayanan Kekayaan Lelang Lelang Negara) Jambi, Indra Safri mengatakan, Pelelangan yang dilakukan oleh perbankan, melibatkan KPKLN untuk selanjutnya diumumkan akan adanya pelelangan itu di media massa. Indra juga menilai, apa yang dilakukan perbankan terhadap agunan debitur itu juga sebagai syok terapi. "Pengumuman lelang itu bisa jadi syok terapi untuk nasabah yang nunggak. Kadang belum sempat dilelang, agunan itu sudah ditebus duluan,” ujarnya kepada wartawan.
Di KPKLN Jambi, dalam setahun ada sekira 200 permintaan lelang. Dari jumlah itu 50 persennya berasal dari perbankan ,termasuk di antaranya bank swasata. “Tapi tidak semua agunan yang dilelang laku. 10 persen agunan yang laku itu sudah bisa dikatakan bagus,” tuturnya didampingi salah seorang kepala seksi KPKLN Jambi, Artha. Dia menilai, banyak faktor yang membuat recovery rate lelang tinggi. Misalnya, lokasi agunan strategis. Ini akan membuat debitur yang asetnya dilelang berupaya bagaimana agunannya tak lepas, sementara peserta lelang juga berupaya mendapatkannya.
Melelang agunan debitur yang kreditnya macet menjadi pilihan perbankan. Itu menjadi salah satu cara untuk menekan angka Non Performing Loan (NPL) atau kredit macet. Tidak sedikit, nasabah yang kreditnya macet agunannya berakhir pada pelelangan. Alasan perbankan melelang agunan itu untuk menutupi utang dari debitur kepada bank.
Dalam lelang, yang dicari tentu adalah harga yang tertinggi. Tetapi tidak semua uang hasil lelang masuk ke bank. Ambil contoh, utang debitur kepada bank sebesar Rp 100 juta, sementara agunan terjual Rp 120 juta. Maka, kelebihan Rp 20 juta dikembalikan kepada nasabah.
"Adanya pelelangan ini sangat efektif untuk menekankan angka kredit di perbankan. “Katanya menegaskan.
Pemimpin BRI Cabang Jambi, pada waktu itu Jannus Siagian mengatakan hal senada. BRI memilih melakukan pelelangan untuk menekankan angka kredit macet. Itu merupakan sudah ketentuan bahwa, apabila nasabah tidak sanggup membayar utang, aset yang diagunkan akan dilelang.

ANALISA KASUS :
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam kasus di atas :
1. Dari pihak debitur (UD Raden Motor) : Adanya penyelewengan dana yang digunakan oleh UD Raden Motor ini. Karena pada awal mulanya tujuan dari permohonan yang diajukan adalah untuk pengebangan usaha di bidang otomotif seperti showroom jual beli mobil bekas dan perbengkelan mobil atau otomotif. Namun kenyataannya tidak sesuai dengan pengajuan yang diberikan pada Bank BRI. Dari hal itu dapat dinilai adanya penyimpangan. Pada perjanjian awal, UD Raden Motor melakukan pinjaman senilai 52 milyar ke Bank BRI Jambi dengan agunan 36 item surat berharga yang nilai likuiditasnya mencapai 100 milyar sebagai jaminannya. Padahal Bank sudah memberikan tenggang waktu selama setahun untuk menjual asetnya, guna melunasi hutang dengan Bank BRI tersebut. Tetapi UD Raden Motor itu tidak melakukaknnya, lalu Kejaksaan sempat mencium adanya pelanggaran tindak pidana korupsi dalam kasus pemberian kredit itu, dan adanya indikasi pengalihan aset-aset milik PT. RPL/UD kepada orang lain, sehingga agunan atau jaminan yang ada di bank sudah dianggap tidak sah lagi.
2. Dari pihak kreditur (Bank BRI Jambi) : Mungkin nantinya harus memperhatikan lagi keadaan nasabah sebelum memberikan kredit pada nasabah tersebut. Dengan memegang prinsip-prinsip dalam pemberian kredit bank. Diantaranya yaitu melihat watak atau karakter dari si nasabah dengan melakukan survey langsung ke orang-orang dekatnya, seperti pada tetangga atau kerabatnya. Yang kedua yaitu terkait kondisi asset dan kekayaan yang dimiliki si nasabah. Ketiga adalah kemampuan si nasabah mengatur atau menata uang nya. Seharusnya nasabah itu mencatat perkembangan keuangan mengenai usahanya. Yang keempat adalah bank harusnya menyurvey agunan yang bisa diberikan oleh si nasabah, apakah sesuai dengan uang yang akan dipinjam atau tidak. Jaminan kredit atau agunan itu sebenarnya tidak bersifat mutlak, tetapi perlu. Yaitu untuk mengantisipasi kemungkinan adanya kredit yang macet di tengah jalan seperti pada contoh kasus di atas. Dan yang terakhir adalah memperhatikan kondisi ekonomi dari si nasabah itu.
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menyangkut kondisi pembiayaan yang diberikan kepada nasabah mengalami masalah, maka terdapat ketentuan yang mengaturnya sebagaimana tercantum dalam pasal 40, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 40
(1) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
(2) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
       Jadi dalam hal bank menarik agunan dari nasabah itu diperbolehkan.

Referensi :
  1. www.kompas.com
  2. UU Perbankan No. 7 tahun 1992
Continue Reading...

Followers

Grab A Button

Follow The Author